Mohamad
Kasim Arifin, mahasiswa IPB selama 15 tahun mengabdi di Waimital,
Pulau Seram, lahir 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur. Dia adalah
seorang mahasiswa Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada
tahun 1964 Kasim dikirim oleh fakultasnya untuk menjalani program
"Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (semacam Kuliah Kerja Nyata sekarang)
selama beberapa bulan di Waimital, dengan tugas memperkenalkan program
Panca Usaha Tani. Namun yang terjadi malah ia begitu terlibat dengan
pengabdiannya mengajar para petani setempat bagaimana meningkatkan hasil
tanaman dan ternak mereka. Akhirnya ia lupa untuk pulang dan
menyelesaikan skripsinya.
Kasim
menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia membuka
jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua itu
dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat
setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan tutur katanya
yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah
sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku.
Orangtuanya
meminta agar Kasim segera pulang namun permintaan itu tidak
dihiraukannya. Demikian pula panggilan sekolahnya, bahkan rektor IPB
sekalipun, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, tidak dipedulikannya.
Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh utusan khusus Rektor IPB,
yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya berhasil menggerakkan
Kasim untuk pulang dan menerima gelar insinyur pertanian istimewa, bukan
karena ia berhasil mempertahankan skripsinya dalam sebuah ujian,
melainkan karena ia telah menunjukkan baktinya selama 15 tahun tanpa
pamrih dan gaji.
Kasim
biasanya hanya bersandal jepit. Tapi pada hari wisuda itu, 22 September
1979 itu ia mengenakan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya,
yang cuma membuatnya kegerahan. Taufiq Ismail, penyair Indonesia
terkemuka yang juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan sebuah
puisi yang berjudul: "Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau
Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya".
Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya:
Selesai wisuda Kasim mendapatkan berbagai tawaran pekerjaan, namun yang dilakukannya malah kembali ke desa, ke Waimital. Baru setelah itu, Kasim menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, di Banda Aceh, meskipun hatinya tetap condong untuk mengabdikan keahliannya kepada para petani. Ia pensiun dari jabatannya sebagai dosen pada 1994.
Pada tahun 1982 Kasim mendapatkan penghargaan "Kalpataru" dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, “membuang” kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya.
Kasim menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di Banda Aceh. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak sulungnya belajar di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. "Saya terlambat menikah," Kasim mengaku. Tidak mengherankan, karena sebagian hidupnya diabdikannya sepenuhnya bagi masyarakat Waimital. (Sumber rujukan: Hanna Rambe, "Seorang Lelaki di Waimital", Penerbit Sinar Harapan, 1983).
"Dia di Waimital jadi petani/ Dia menyemai benih padi/ Orang-orang menyemai benih padi/ Dia membenamkan pupuk di bumi/ Orang-orang membenamkan pupuk di bumi/ Dia menggariskan strategi irigasi/ Orang-orang menggali tali air irigasi/ Dia menakar klimatologi hujan/ Orang-orang menampung curah hujan/ Dia membesarkan anak cengkeh/ Orang kampung panen raya kebun cengkeh//". Penggalan puisi di atas ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan sosok Kasim Arifin.
Kasim selalu memperlihatkan catatan berisi angka-angka laju kerusakan hutan di Indonesia, yang mencapai rata-rata tiga juta hektar per tahun. Lebih detail lagi, Kasim menghitung laju kerusakan hutan per detik, yang menunjukkan angka 965 meter persegi. Aceh saja, laju kerusakan hutannya rata-rata 200.000 hektar per tahun atau 62,23 meter persegi per detik.
Dengan laju kerusakan hutan yang begitu besar, ternyata rehabilitasi hutan hanya rata-rata 70.000 hektar per tahun. Sementara pertambahan penduduk yang rata-rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya justru mempercepat laju kerusakan hutan, bukan memperbesar rehabilitasi hutan. Mengapa rehabilitasi hutan tidak mampu mengimbangi laju kerusakan hutan?. Manusia hanya mengeksploitasi hutan, selebihnya tak banyak yang bisa diharapkan.
Di usianya yang semakin senja, Kasim masih sempat menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi. Ia salah seorang anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang masih bermasalah itu.
Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang seperti ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya.
Seorang Kasim….. telah lama tiada, tetapi sangat pantas untuk dikenang…..
Naskah ini saya kumpulkan kembali dari berbagai sumber, untuk mengenang Kasim sebagai seorang guru yang luar biasa. (Rujukan utama: Hanna Rambe, 1983).