Senin, 03 November 2014

Cerita tentang muhammad kasim


Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB  selama 15 tahun mengabdi di Waimital, Pulau Seram, lahir 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur. Dia adalah seorang mahasiswa Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1964 Kasim dikirim oleh fakultasnya untuk menjalani program "Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (semacam Kuliah Kerja Nyata sekarang) selama beberapa bulan di Waimital, dengan tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani. Namun yang terjadi malah ia begitu terlibat dengan pengabdiannya mengajar para petani setempat bagaimana meningkatkan hasil tanaman dan ternak mereka. Akhirnya ia lupa untuk pulang dan menyelesaikan skripsinya. 

Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan tutur katanya yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku. 

Orangtuanya meminta agar Kasim segera pulang namun permintaan itu tidak dihiraukannya. Demikian pula panggilan sekolahnya, bahkan rektor IPB sekalipun, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, tidak dipedulikannya. Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh utusan khusus Rektor IPB, yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya berhasil menggerakkan Kasim untuk pulang dan menerima gelar insinyur pertanian istimewa, bukan karena ia berhasil mempertahankan skripsinya dalam sebuah ujian, melainkan karena ia telah menunjukkan baktinya selama 15 tahun tanpa pamrih dan gaji. 

Kasim biasanya hanya bersandal jepit. Tapi pada hari wisuda itu, 22 September 1979 itu ia mengenakan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya, yang cuma membuatnya kegerahan. Taufiq Ismail, penyair Indonesia terkemuka yang juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan sebuah puisi yang berjudul: "Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya". 

Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya:
"Dari pulau itu, dia telah pulang, Dia yang dikabarkan hilang, Lima belas tahun lamanya, Di Waimital Kasim mencetak harapan, Di kota kita mencetak keluhan, (Aku jadi ingat masa kita diplonco Dua puluh dua tahun yang lalu), Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca, Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi, Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku, Ketika aku mengingatmu, Sim".

Selesai wisuda Kasim mendapatkan berbagai tawaran pekerjaan, namun yang dilakukannya malah kembali ke desa, ke Waimital. Baru setelah itu, Kasim menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, di Banda Aceh, meskipun hatinya tetap condong untuk mengabdikan keahliannya kepada para petani. Ia pensiun dari jabatannya sebagai dosen pada 1994. 

Pada tahun 1982 Kasim mendapatkan penghargaan "Kalpataru" dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, “membuang” kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya. 

Kasim menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di Banda Aceh. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak sulungnya belajar di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. "Saya terlambat menikah," Kasim mengaku. Tidak mengherankan, karena sebagian hidupnya diabdikannya sepenuhnya bagi masyarakat Waimital. (Sumber rujukan: Hanna Rambe, "Seorang Lelaki di Waimital", Penerbit Sinar Harapan, 1983).

"Dia di Waimital jadi petani/ Dia menyemai benih padi/ Orang-orang menyemai benih padi/ Dia membenamkan pupuk di bumi/ Orang-orang membenamkan pupuk di bumi/ Dia menggariskan strategi irigasi/ Orang-orang menggali tali air irigasi/ Dia menakar klimatologi hujan/ Orang-orang menampung curah hujan/ Dia membesarkan anak cengkeh/ Orang kampung panen raya kebun cengkeh//". Penggalan puisi di atas ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan sosok Kasim Arifin. 

Kasim selalu memperlihatkan catatan berisi angka-angka laju kerusakan hutan di Indonesia, yang mencapai rata-rata tiga juta hektar per tahun. Lebih detail lagi, Kasim menghitung laju kerusakan hutan per detik, yang menunjukkan angka 965 meter persegi. Aceh saja, laju kerusakan hutannya rata-rata 200.000 hektar per tahun atau 62,23 meter persegi per detik. 

Dengan laju kerusakan hutan yang begitu besar, ternyata rehabilitasi hutan hanya rata-rata 70.000 hektar per tahun. Sementara pertambahan penduduk yang rata-rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya justru mempercepat laju kerusakan hutan, bukan memperbesar rehabilitasi hutan. Mengapa rehabilitasi hutan tidak mampu mengimbangi laju kerusakan hutan?. Manusia hanya mengeksploitasi hutan, selebihnya tak banyak yang bisa diharapkan. 

Di usianya yang semakin senja, Kasim masih sempat menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi. Ia salah seorang anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang masih bermasalah itu. 

Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang seperti ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya. 

Seorang Kasim….. telah lama tiada, tetapi sangat pantas untuk dikenang….. 
Naskah ini saya kumpulkan kembali dari berbagai sumber, untuk mengenang Kasim sebagai seorang guru yang luar biasa. (Rujukan utama: Hanna Rambe, 1983).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai


Pengertian DAS yang banyak dikenal pada bidang kehutanan, adalah wilayah/daerah yang dibatasi oleh topografi alami yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga semua air yang jatuh pada daerah tersebut akan keluar dari satu sungai utama. Sedangkan pengelolaan DAS diartikan sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan segala aktifitasnya sehingga terjadi keserasian ekosistem serta dapat meningkatkan kemanfaatan bagi manusia. Asdak (1995: 11) menyatakan bahwa ”Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem”. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung. 

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam disuatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun (Marwah, 2001).

Menurut Kartodihardjo, dkk, 2004), secara fisik DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi secara alamiah oleh punggung bukit yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik outlet. Batasan tersebut menunjukkan bahwa di dalam DAS terdapat wilayah yang berfungsi menampung dan meresapkan air (wilayah hulu) dan wilayah tempat air hampir berakhir mengalir (wilayah hilir).  Nugraha, dkk  (1997: 1) mengemukakan bahwa dengan berpedoman pada ekosistemnya, wilayah DAS dapat dibagi menjadi (1) sub sistem DAS bagian hulu (upland watershed), (2) sub sistem DAS bagian tengah (midland watershed), dan (3) sub sistem DAS bagian hilir atau pantai (lowland watershed). Masing-masing sub sistem DAS tersebut di atas mempunyai karakteristik (ciri khas) dan sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) sendiri-sendiri, sehingga akan mempunyai daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berbeda, akibatnya dalam usaha pengelolaan lingkungan harus disesuaikan dengan kondisi tersebut dan diikuti dengan tindakan dan pengambilan kebijakan yang mengikuti ciri khas dan potensi sumberdaya alam yang ada.

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaiatan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002). Secara hidrologi, pengelolaan DAS berupaya untuk mengelola kondisi biofisik permukaan bumi, sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu hasil air (water yield, total streamflow) secara maksimum, serta memiliki regime aliran (flow regime) yang optimum, yaitu terdistribusi merata sepanjang tahun (Purwanto, 1992).

Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber daya Air).

Pengelolaan DAS mempunyai pengaruh terhadap produktivitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu di dalam pengelolaan DAS harus diarahkan pada target sebagai berikut :
  1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi;
  2. Mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu menjamin produktivitas yang tinggi, erosi dan sedimen serendah ungkin, dan fungsi hidrologi DAS memberikan water yield yang tinggi dan cukup merata sepanjang tahun;
  3. Mampu membina DAS yang lentur terhadap goncangan perubahan yang terjadi (resilient);
  4. Tetap menjamin terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity) pada petani. (Arsyad et-al, 1985 dalam Tikno, 1999)
DAS tidak dapat dibagi dan dikelola berdasarkan sistem administrasi pemerintahan selain itu daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Oleh karena itu pengelolaan/manajemen Das tidak bisa dilakukan hanya sebagian-sebagain saja (parsial) menurut wilayah admintrasi atau kewenangan lembaga tertentu saja namun harus dilakukan secara menyeluruh (holistik) sehingga semua aspek yang terkait dalam DAS dapat diperhatikan dan dipertimbangkan dalam perencanaan, pengorganisasian, implementasi maupun kontrol terhadap seluruh proses pengelolaan yang telah dibuat.
Perencanaan dan pengelolaan DAS merupakan aktivitas yang berdimensi biofisik (seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat untuk menjadi pertimbangan di dalam perencanaan suatu aktivitas/teknologi pengelolaan Daerah Aliran Sungai sebagai satuan unit perencanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Oleh karenanya pengelolaan DAS tidak bisa hanya menjadi domain satu bidang ilmu saja (misalnya bidang Kehutanan saja) namun haruslah interdisipliner sehingga semua dimensi biofisik, kelembagaan, dan sosial dalam pengelolaan DAS dapat dipertimbangkan secara baik dan benar. Selain itu dari aspek kewenangan terhadap pengelolaan, seringkali dalam satu kawasan DAS banyak institusi yang terlibat sehingga perlu adannya koordinasi yang baik diantara institusi/stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengelolaan DAS.
Pada akhirnya agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka perlu dilibatkan seluruh stakeholders dan direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Pelaksanaan yang ditunjang oleh peratuan perundangan dan sistem pendanaan yang memungkinkan mekanisme kerjasama yang baik antar stakeholders, antar sektor dan adanya pembagian biaya dan keuntungan antar bagian hulu dengan bagian hilir. Ini berarti aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS/DTA sangat penting untuk ditata sejalan dengan adanya perundangan dan otonomi daerah.